Selasa, 16 Desember 2008

"HAMIL DARA"

Sore itu didepan puskesmas, tiba-tiba ada sepeda motor plat merah (motor pemerintah) dikendarai seorang laki (aparatur desa) membonceng seorang perempuan yang kelihatan resah dan terburu-buru berhenti tepat di depan rumah seorang perawat yang kesehariannya tinggal tidak jauh dari puskesmas itu, perawat yang tugasnya merawat pasien yang sakit, bagi dia bertambah jobnya, selain melayani pasiennya, juga merawat kantor puskesmas yang selalu sepi setiap sorenya, bukan tidak ada pasien yang datang, melainkan karyawan dan para petugasnya telah pulang tepat jam 3 tiga sore, kalau urusan pulang kantor/kerja bagi karyawan atau aparatur pemerintah selalu ontime, terlambat satu jam saja pasti harus ada imbalan uang lembur. Jadinya apapun resiko dan pentingnya urusan bagi rakyat yang membutuhkan pelayanannya kalau sudah bersentuhan dengan birokrasi –ya- harus jam kerja, kalau ingin layanan prima bagi rakyat kecil berarti harus merogoh kocek tabungan yang telah ditabungnya dua tahun yang lalu. Mungkin itulah prinsip birokrasi, bila pekerjaan itu mudah dan bisa dipercepat kenapa tidak diperlambat, mungkin itu tafsiran salah dari makna birokrasi; pekerjaan jelimet dan bertele-tele.

Malang nasib sang perempuan itu, rupanya perawat yang menjadi tumpuan harapan sedang diundang oleh pa Ahmad yang istrinya sakit panas, mual muntah setelah dua hari yang lalu, sehingga tidak bisa datang ke puskesmas dan terpaksa memboyong perawat yang sekaligus penjaga dan piket puskesmas itu. Aneh memang perawat yang oleh undang-undang negri ini dilarang membuka peraktek pengobatan, realitasnya ia lebih dirasakan manfaat dan keberadaanya oleh sebagian rakyat jelata ketimbang dokter yang memiliki izin peraktek. Disetiap balai pengobatan dokter datang pada hari-hari dan jam tertentu, dokter mungkin sibuk peraktek yang keuntungannya bisa sepuluh kali lipat dari pengahasilannya sebagai dokter puskesmas, logis kalau begitu, bagi wargapun perawat dianggapnya dokter,karena setiap kepuskesmas untuk berobat dirinya atau sekedar mengantar sanak pamilinya warga selalu berhadapan dengan perawat itu, pantas bagi masyarakat awam setiap urusan yang memegang jarum suntik dipanggilnya dokter.

“ada apa bu...?” dengan penuh kepenasaran aku ingin lebih tahu maksud dan tujuan sang perempuan itu yang sedang kebingungan.

"adik ku mau melahirkan”, ada sesak dalam dada, teringat istriku yang melahirkan anak keduaku dirumah sakit yang langsung meninggal, bahkan tidak sempat mendengar tangisan jabang bayi yang ku beri nama ‘Hikmah at-Taqy’ itu.

“dimana bu..?”,

“di rumah” jawabnya singkat dan penuh harap,

“tidak dibawa ke bidan bu.........?”, aku sempat keheranan, urusan melahirkan kok harus menghubungi terlebih dahulu perawat, rupanya sekedar ingin mendapat referensi dari perawat itu, bidan mana yang tepat untuk membantu persalinan adiknya.

“ia, lagi nyari kendaraan” jawabnya sambil melihat mobil carry sujukiku tahun 2005 yang aku tunggangi dengan tatapan penuh harap, ada kata sambutan dariku yang menyenangkan hatinya

“sudah bu, aku antar aja...” tanpa basa basi dan ucapan terimakasih sepatahpun dari sang perempuan itu, ia langsung masuk mobil, mungkin sangat senang sehingga lupa etika budaya timur sekedar ucapan nuhun, yang terpikirkan oleh perempuan itu bagaimana secepatnya membawa adiknya yang merintih kesakitan dari sejak kemarin
ketempat persalinan, walaupun kebingungan bidan mana yang akan dituju karena belum bertemu dengan sang perawat yang sedang dicarinya.

Selama dalam kendaraan, Perempuan itu tidak banyak bicara, raut muka yang resah dan gelisah menghilangkan kepenasarananku untuk bertanya-tanya, perempuan itu sesekali hanya menunjukkan arah jalan menuju rumah adiknya. Jalan yang dilaluinya ternyata masuk hutan bambu, yang tak terbersit dalam pikiran orang yang tinggal diperkotaan terdapat perkampungan ditengah rimbun rumpun bambu itu, jalanan yang sempit, berkelok, becek dan licin, memaksa kendaran yang ku tumpangi berjalan sangat lambat sesekali berhenti untuk menghindari bebatuan agar tidak mengganjal sasis bagian bawah mobilku.

“sudah sampai disini aja” sang perempuan itu memecahkan kesunyian dan ketakutanku yang menghantui perasaan saat melewati jalan yang sepi itu.

“rumahnya dimana bu....?” keherananku sambil melirih pada sang perempuan itu, hanya ada beberapa rumah sepi dan lapang kecil yang cukup untuk parkir, tak terlihat kerumuan warga atau anggota rumah yang berkumpul tanda-tanda ada yang akan melahirkan

“.........masih jauh pa, dibawah, bapa tunggu aja disini, orang yang melahirkannya mau dibokong pakai kursi......” , ujarnya sambil menunjukkan kelembah jalan setapak yang hanya cukup untuk kendaraan sepeda motor, perempuan itu berlari menuju jalan yang ditunjuknya, lalu menghilang ditelan rumpunan bambu yang gelap, cuacapun sudah mulai tidak bersahabat karena hari menjelang magrib. Setengah jam kemudian, berbondong orang-orang dengan ramai-ramai menggotong kursi, dikursi itu terlihat seorang wanita muda meringis kesakitan, perutnya yang buncit besar dipegang oleh kedua tangannya, aku sempat bertanya pada orang-orang disekitarnya tentang kehamilannya, ternyata hamil pertama, orang kampung disana menyebutnya ‘hamil dara’. Perisitiwa melahirkan dibawa ke tempat persalinan dikampung itu jarang terjadi, biasanya melalui bantuan paraji/dukun kampung.

Disela rintihan kesakitannya wanita yang hamil dara itu ia menegok kearahku dan sempat bertanya

“...bapa, ibu kok ga ikut...” aku hanya mengelengkan kepala, perasaan ku terharu, betapa terhormatnya sang perawat itu. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar